Minggu, 19 Juni 2011

True Love: Saat Cinta Saja Tak Cukup

Siapa saja di antara Anda yang mulai jarang ke bioskop karena tak ada pilihan film yang bagus?

"Ini memang jenis film
yang keluar dari mainstream,
tapi berkualitas."
Sejak film Hollywood tak lagi masuk ke Indonesia, kita hanya disisakan beberapa film produksi studio independen, film-film buatan negara tetangga, dan film-film lokal berjudul horor dengan bumbu seksual. Bahkan saking banyaknya film Indonesia yang bergenre horor-semiporno, film-film seperti inilah yang muncul di pikiran kita saat mendengar seseorang menyebut '"film lokal."

Fanny Fabriana dan Mario Lawalata di Raja Ampat.

Dedi Setiadi sudah muak dengan tren ini. Aktif sebagai sutradara sejak tahun 80'an, Dedi memiliki idealisme yang tak tergoyahkan. Ia hanya mau memproduksi tontonan yang berkualitas, bukan hanya mengejar jumlah penonton atau pemasukan. Terbukti dari sejumlah serial televisi yang pernah ia sutradarai, sebut saja Losmen, ACI, Siti Nurbaya, Jendela Rumah Kita, Keluarga Cemara, dan puluhan judul lainnya.

Sudah tak terhitung lagi jumlah penghargaan yang diterimanya atas karya-karya legendaris tersebut. Tak heran jika ia berkali-kali ditawari untuk jadi sutradara film layar lebar. Tapi kenapa tak ada yang ia terima?

"Saya nggak mau bikin film asal-asalan. Apalagi kalau filmnya horor yang esek-esek. Mending nggak usah,” ujar pria kelahiran Sukabumi, 26 Oktober 1952 ini.

Dedi akhirnya baru mengiyakan setelah ditawari untuk menyutradarai True Love. Film yang diangkat dari novel karya Mira W yang berjudul Cinta Sepanjang Amazon. Rupanya produser film ini pun sudah dua tahun mencari sutradara yang tepat sebelum akhirnya bertemu dengan Dedi Setiadi.



"Seperti inilah realita hidup.
Cinta saja tidak cukup."


Lalu apa yang membuat Dedi akhirnya mengiyakan tawaran film ini?

Novelnya sangat filmis. Banyak sekali plot kejutan yang sulit ditebak, tapi semuanya tak ada yang di luar logika. Film ini memang jenis film yang keluar dari mainstream, tapi berkualitas,” jelasnya.

True Love bercerita tentang kisah seorang gadis bernama Vania (diperankan oleh Fanny Fabriana) dan kehidupan rumah tangganya yang penuh cobaan bersama Aries (diperankan Mario Lawalata). Banyak konflik yang terjadi di antara mereka, sehingga akhirnya Vania harus melarikan diri dan “bersembunyi.”

Film yang juga dibintangi oleh Alex Komang dan Happy Salma ini juga menjanjikan visual yang indah dan memanjakan mata. Satu minggu mereka habiskan untuk mengambil gambar di Raja Ampat, Papua, dan seminggu syuting di Swedia.

Awalnya kami berencana syuting di Australia, tapi ternyata izin lokasi untuk syuting mahal sekali di sana. Kru kami yang akan berangkat juga ada sepuluh orang, tapi yang dapat visa hanya empat, termasuk saya,” Dedi bercerita.

Syuting di salah satu tempat terindah di dunia, Kepulauan Raja Ampat, pun bukan tanpa hambatan. Selain harus melewatkan waktu berjam-jam termasuk naik kapal selama enam jam untuk mencapai tempat tujuan, mereka juga sempat diancam gempa dan tsunami selama di sana.

Kami tiba di Raja Ampat bersamaan dengan gempa dan tsunami di Jepang. Nggak lama kemudian ada peringatan tsunami di Papua. Kami sempat mengungsi dulu,” ujar Dedi.

Rintangan dan hambatan itu kini hanya jadi cerita yang tersisa di balik pembuatan film. Semua terbayar dengan hasil yang menurut Dedi sesuai dengan harapannya.

Cerita yang ada di film ini adalah kisah yang terjadi pada semua orang. Cerminan diri kita sendiri. Gambar-gambar indah dari Raja Ampat pun bukan hanya penghias, tapi memang menggambarkan suasana hati yang tak bisa terungkap dengan kata-kata,” Dedi menjelaskan.

Dedi berpendapat bahwa film ini akan jadi tontonan wajib bagi pasangan yang akan menikah, untuk menunjukkan bahwa pernikahan itu tak sekadar bunga-bunga.

Seperti inilah realita hidup. Cinta saja tidak cukup,” tutupnya.

True Love bisa disaksikan di bioskop mulai tanggal 1 Juli 2011.
http://id.omg.yahoo.com/blogs/true-love-saat-cinta-saja-tak-cukup-blog_editor-113.html